Mungkin belum banyak yang tahu apa itu teknologi Hazton? Namun dalam tabloid sinar tani, telah beberapa kali mengulas artikel tentang Teknologi Hazton.
Bagi petani yang sudah terbiasa menggunakan sumber bibit diatas usia 25 harian metode HASTON cocok banget. Hazton merupakan teknik menanam tanaman padi yang mengadaptasi fisiologi tanaman padi itu sendiri. Teknologi Hazton mulai dikembangkan sejak hampir 2 tahun lalu dikembangkan di Kalimantan Barat. Tenologi ini diperkenalkan pertama kali oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaliantan Barat Hazairin dan salah seorang stafnya bernama Anton sehingga disingkatlah menjadi Hazton.
Menurut sang proklamator teknologi ini, dengan teknik Hazton ini mampu meningkatkan produktivitas tanaman hingga 2 kali lipat, di mana rata-rata produksi padi di Kalimantan Barat rata-rata hanya 3,5 ton/ha namun dengan teknologi hazton bisa mencapai 10 ton/ha.
Apa dan bagaimana teknologi hazton itu sendiri? Sang penemu saat melakukan penelitian tidak melalui pengujian varietas dengan anakan terbanyak, pengaturan jarak tanam, pengaruh pemupukan, pengolahan tanah dan sebagainya.
Akan tetapi Hazairin dan Anton menggunakan hipotesa awal yang sederhana yaitu bagaimana memperbanyak indukan produktif yang seragam dan serentak saat mengeluarkan malai.
Penelitian dilakukan dengan cara menanam bibit dengan jumlah 1, 5, 10, 20, 30 dan 40 per lubang tanam. Dan hasil penelitian tersebut menunjukkan hasil terbaik adalah jumlah bibit 20 – 30 per lubang.
Jadi Konsep Teknologi Hazton ini ada pada cara menaman yang biasanya hanya 5 bibit perlubang menjadi 20 – 30 per lubang. Bibit-bibit ini tidak menghasilkan anakan melainkan indukan yang sama sehingga hasilnya maksimal.
Bagaimana bisa?
Rahasianya ternyata adalah karena adaptasi fisiologi padi, dimana dengan jumlah bibit 20 -30 masing-masing bibit padi yang berada ditengah rumpun akan terjepit dan cenderung menjadi indukan utama yang produktif dan menghasilkan malai yang prima. Sedangkan bibit yang berada di pinggir rumpun akan menghasilkan 1-3 anakan yang semuanya produktif.
Jadi kesimpulannya : dengan jumlah bibit 20 – 30 per lubang akan menghasilkan anakan produktif sekitar 40 -60 anakan/rumpun sehingga jumlah indukan dan anakan produktif inilah yang akan menghasilkan peningkatan produktivitas dan produksi. Namun dengan banyaknya jumlah bibit yang digunakan, maka benih yang digunakan lebih banyak dari teknik yang biasa dipakai. Sebagai perbandingan benih yang dibutuhkan dengan cara biasa sebanyak 25 kg/ha maka untuk teknologi hazton benih yang dibutuhkan sebanyak 125 kg/ha. Walaupun menggunakan benih yang cukup banyak sang penemu mengklaim dengan menggunakan teknologi hazton petani tetap mendapatkan keuntungan yang besar. Pupuk yang digunakan pun lebih banyak 10 – 25 % dari takaran normal, hanya saja pupuk menjadi lebih efisien karena diserap oleh indukan atau anakan produktif sehingga tanaman menjadi lebih subur. Selain itu teknologi hazton juga menggunakan bibit semai tua yaitu 30 – 35 hari setelah semai terutama untuk daerah endemik hama keong mas dan orong-orong serta lokasi yang terserang banjir.
Hanya saja, teknologi ini masih diragukan efektivitasnya oleh beberapa pihak. Ini dikarenakan dalam teori bercocok tanam penggunaan bibit sebanyak 25 – 30 akan mengakibatkan tanaman akan saling berkompetisi dalam penyerapan unsur hara sehingga akan menyebabkan tanaman tumbuh rendah. Selain itu penggunaan benih yang banyak menyebabkan meningkatnya biaya usaha tani petani. Saat ini pengkajian terhadap teknologi hazton sedang dilaksanakan oleh Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi dengan pembanding teknologi PTT dan metode SRI. Di tengah-tengah upaya Pemerintah dalam mencapai swasembada pangan dan program UPSUS, kita sebagai masyarakat dan konsumen yang ikut berperan sangat menunggu hasilnya. Apapun itu hasilnya patut kita hargai sebagai upaya mendukung program Pemerintah dan untuk kesejahteraan petani.
Sumber : Sinar Tani Edisi 22-28 April 2015